Abis baca https://www.theatlantic.com/health/archive/2021/07/unvaccinated-different-anti-vax/619523/
Intinya: orang yang belum divaksinasi itu bukan berarti orang itu anti vaksinasi.
Satu2nya yang serupa antara kedua “kelompok” itu adalah mereka lebih rentan kena efek yang lebih parah kalau terpapar covid.
Di artikel The Atlantic ini, Ed Yong sang jurnalis, mewawancarai dokter anak dan advokat kesehatan publik di SF yang gigih bergerilya sejak November 2020 melakukan sosialisasi dan dialog mengenai wabah ini dengan komunitas minoritas di berbagai pelosok Amerika yang belum maksimal terangkul.
Beliau bercerita bahwa di salah satu sesi yang beliau lakukan secara jarak jauh dimana 5000 peserta, dari yang sudah divaksin sampai belum, menyampaikan berbagai pertanyaan terkait vaksin, beliau menyadari kesalahan persepsi umumnya dimana kita menganggap orang yang sudah divaksin sebagai orang yang pro vaksinasi dan orang yang belum divaksinasi sebagai orang yang anti vaksinasi. Dan kalau boleh saya tambahkan, masing2 “kubu” akan melabeli kubu lainnya dengan “bodoh” dan melabeli kubunya sebagai “cerdas”.
Tidak sesederhana itu Ferguso.
Yang udah divaksinasi juga menyimpan banyak keraguan dan pertanyaan. Keraguan paling umum ya mengenai efek samping.
Lalu ada poin penting di artikel itu mengenai kurangnya akses ke informasi (yup, di Amerika juga nggak semua org bisa/mau Googling): “The information gap is driving the vaccination gap.”
Ya ini ada benarnya. Tapi juga, nggak berarti informasi akan menyelesaikan segalanya kan, karena manusia nggak beraksi berdasarkan informasi aja. Kalo emang cuma butuh informasi utk mengubah pikiran, perilaku, atau keputusan seseorang, semua orang pasti udah kaya, seksi, six pack, masuk surga, de el el.
Ketersediaan vaksin tidak sama dengan akses ke vaksin. Ada yang nggak bisa cuti kerja, lokasi vaksin kejauhan, gak ada yang bisa bantu jaga anak, males ribet daftar n antri, mikirin urusan perut lebih penting, dll.
Intinya, orang yang belum divaksinasi itu bisa jadi karena masih ragu, kurang pemahaman, atau nggak ada kesempatan. Bukan semua anti vaksin, bukan semua bodoh, bukan semua konyol.
Jelas lah, kita semua juga tau ini dalam hati kecil kita. Cuma banyak yg kebawa ngegas aja, ngebego2in “the other side”. Mentalitas us vs them.
Yang anti vaxxer ini sebenernya nggak banyak, tapi vokal dan berisik aja, jadi kesannya banyak.
Stop demonisasi orang yang belum divaksin, jangan gara2 segelintir anti-vaxxer kita jadi mengorbankan populasi yang sebenarnya bisa dipersuasi. Wong baru ada kan cerita viral (entah bener apa nggak sih) dimana tetangganya katanya koar2 sinis, skeptis, dan anti vaksin, tapi ternyata diem2 udah divaksin, wkwkwkw.
Kalo beneran niat berusaha gimana supaya semakin banyak orang yang mau divaksinasi, lebih efektif pake empati, bukan konfrontasi bertabur emosi dan rundungan. Lebih efektif mengubah isi percakapan2 yang terjadi di sekeliling mereka oleh orang2 yang mereka percaya, emang mesti sabar dan nggak instan.
Di sini makanya peran tokoh2 yang punya panggung dan kredibilitas genting banget.
Pada dasarnya semua orang takut mati. Cuma bentuk takutnya aja yang beda. Mau divaksin karena takut, belum yakin karena takut, dan nolak vaksin karena takut.
Orang takut bagusnya diapain? Makin ditakut2in? wkwkwk.
Motivasi manusia kan ada dua: rasa takut atau rasa cinta (peduli, ingin melindungi). Ya lawan rasa takut pake kekuatan bulan. Eh kekuatan cinta. 😂
Metadata
- Draft of this post can be found at: http://proses.id:5417/s/yn5tKDmXa
- Date of draft: 2021-07-25
Also published on Medium.