Lebih suka ngobrol berdua atau ramai-ramai?

Satu hal yang saya amati: saya lebih nyaman dalam komunikasi empat mata dibanding percakapan dengan jumlah peserta yang lebih dari dua.

Entah kenapa saya merasa apa yang saya ingin katakan lebih “nyampe”.

Ini terjadi di konteks profesional maupun pertemanan.

Saya lebih luwes ketika ngobrol berdua dibanding bahkan tiga orang pun.

Sebuah presentasi bisa belepotan kalau saya tahu ada beberapa orang yang sedang memperhatikan. Tapi saya lebih tenang kalau memberikan presentasi yang sama ke masing-masing pesertanya satu demi satu.

Berikut tiga kemungkinan penyebab dan alasan saya merasa seperti itu berikut sedikit usaha saya untuk menutup celah masing-masing “masalah” ini.

Alasan pertama adalah saya bisa lebih fokus membaca bahasa tubuh lawan bicara dan merubah penyampaian saya secara cepat untuk mengkompensasi. Misal kalau lawan bicara terlihat bingung, terdistraksi, atau tidak setuju.

Alasan kedua adalah saya tahu persis bagaimana harus menyesuaikan isi dan gaya penyampaian supaya orang tersebut dapat menyerap dan mencerna kata-kata saya secara sempurna.

Alasan ketiga yang ada di kepala saya ketika saya berusaha menjelaskan perasaan ini adalah: saya merasa orang tersebut pasti mendengarkan.

Alasan pertama: resiko orang sensitif ya….


Terkait alasan kedua: tentu tidak ideal dan sungguh membatasi kalau saya harus menyampaikan materi satu demi satu ke peserta.

Sebagai solusinya, apakah bisa saya bayangkan saya hanya berbicara satu orang ketika harus berpresentasi di depan banyak orang? Ya sepertinya bisa. Saya harus putuskan dulu siapa yang akan menjadi sasaran lawan bicara. Kalau bisa, ya buat profil paling rata-rata dari seluruh peserta.

Saya harus mau fokus ke “ini masuk akal nggak ya untuk si A?” dan belajar mengabaikan impuls pertanyaan dalam kepala “ini masuk akal nggak ya untuk si B, C, D, E?”. Tentu A, B, C, D, dan E tidak akan punya konteks yang sama persis 100% sehingga kata-kata yang sama pasti tidak akan diserap dengan sempurna dan sama rata. Tapi itu resiko dimanapun kan?


Terkait alasan ketiga, kapan hari saya menyadari satu pola di group chat yang mungkin mengikuti prinsip yang sama.

Pada dua kesempatan terpisah, dua grup WhatsApp berbeda yang sudah berhari-hari sepi mendadak ramai setelah ada yang memulai topik dan ada yang menanggapi.

Begitu percakapan pertama bergulir, datang topik-topik percakapan lainnya.

Grup WhatsApp yang sepi akan tetap sepi. Tapi begitu ada yang muncul, itu seperti pemantik yang memancing percakapan lebih ramai.

Hukum kelembaman: momentum dan inertia? :p

Saya jadi berpikir. Apakah sebenarnya grup-grup ini sepi karena manusia butuh mendapat sedikit kepastian bahwa ada yang akan mendengarkan? Ketika grup sedang ramai, ada kemungkinan lebih besar akan ada yang membaca dan merespon pesan kita. Kalau sedang sepi, kita takut membuka percakapan, jangan-jangan ujung-ujungnya berasa dicuekin.


Ada yang mengalami hal yang sama?


Also published on Medium.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *