Berdansa dengan keterbatasan

Sadar nggak teman-teman bahwa kita senantiasa berdansa dengan keterbatasan?

Hampir semua yang kita lakukan sehari-hari itu sebenarnya adalah salah satu dari antara dua hal ini:

  1. Berusaha berdamai dengan keterbatasan kita.
  2. Berusaha mendobrak dan menggeser rentang keterbatasan kita.

Menikmati makanan dan minuman enak, tapi kapasitas perut kita terbatas, kecepatan metabolisme kita terbatas, dan kapasitas keuangan kita juga terbatas, hehehe.

Kita bekerja, terbatas kapasitas otak, kapasitas kesadaran, kapasitas otot, kelenturan pergerakan, dan stamina.

Kita FOMO karena keterbatasan waktu, tenaga, dan materi.

Kita membuat catatan daftar belanjaan dan pekerjaan karena ingatan kita terbatas.

Kita mencari penghiburan karena cita-cita dan asa yang tak tercapai. Kita rapopo ketika kecewa. Kita gwen-chana-yo karena tidak mampu sama kamu, hahay~.

Kita jatuh ke dalam pola pikir tribal “us vs them” karena kita butuh cara cepat untuk memutuskan siapa yang bisa kita percaya dan “bertahan hidup”.

Kita melakukan pemboikotan (cancel culture) karena itu adalah salah satu cara paling mudah untuk mengabaikan gagasan-gagasan yang tidak perlu kita pertimbangkan lebih lanjut (untuk saat ini) karena kita menganggap sang pencetus tidak pantas kita anggap (padahal ya kompleks, ya, gaes).

Kita melanjutkan saja kebiasaan-kebiasaan kita dibanding melakukan perubahan karena waktu dan energi kita terbatas untuk bisa memikirkan ulang setiap keputusan secara seksama.

Yang (rasanya) bisa kita ketahui itu terbatas, bahkan dalam keterbatasan lingkup dan definisi “tahu” itu sendiri.

Kita menggunakan heuristik karena kita tidak bisa memahami semuanya.

Kita harus puas cukup (satisficing) karena kita tidak bisa memaksimalkan segala faktor.

Kita tidak banyak merancang nilai-nilai dan pedoman kehidupan kita sendiri dan umumnya menyerahkan kekuasaan tersebut ke kelompok, afiliasi, dan entitas tertentu karena ya memang berat dan sulit sekali untuk bisa secara sadar merumuskan hal-hal tersebut melalui pengalaman dan kemampuan kita sendiri, dan menanggung segala beban fisik dan mental atas konsekuensi pilihan dan rancangan kita sendiri. Tapi ya, boro-boro merancang, memilih dan menyadari saja jarang! Hehe.

Kita tidak tahu segalanya dan kita hanya mampu meyakini beberapa pemikiran dan menyelami beberapa pendapat secara mendalam. Sisanya ya membeo saja.

Ya tidak apa-apa juga sih cargo culting, berburu tips sukses, dan berusaha menarik pelajaran dari pengalaman dan pengamatan orang lain. Asal tidak terkejut kalau pelajaran tersebut tidak mumpuni karena tidak klop dengan konteks, situasi, dan kondisi kita sendiri.

Intinya: kita melakukan kompromi, negosiasi, dan ekspansi atas keterbatasan kita di setiap saat. Ketidaksempurnaan dan keterbatasan adalah dua hakikat manusia yang tidak bisa dihapuskan, hanya bisa dikelola.


Tapi ya, setiap keterbatasan juga adalah kesempatan.

Kalau tidak ada keterbatasan kecepatan, berat, massa, dan hukum fisika lainnya, tidak akan ada transportasi. Kalau tidak ada keterbatasan waktu, tidak akan ada layanan pesan antar. Kalau tidak ada keterbatasan daya beli dan daya jual atas kendaraan pribadi, tidak akan ada ojek online dan komunitas nebeng.

Kebutuhan dan keterbatasan adalah masalah. Setiap masalah adalah kesempatan.

Kita terus menciptakan teknologi untuk membantu kita memperluas lingkup kemampuan kita dan menggeser rentang keterbatasan kita.


Dan, keterbatasan ini juga adalah kekuatan kita. Kita umumnya hanya mampu menjadi ahli di sedikit bidang. Yang lahir dan tumbuh dengan segala yang terjadi pada diri kita, ya hanya kita, di antara 8 miliar orang di dunia ini. Kombinasi kepribadian, selera, dan “trauma” kita. Dan itulah yang membuat perspektif dan suara kita unik[1]. Secanggih-canggih-nya LLM, mereka (saat ini) masih tidak mampu menirukan gaya bicaramu 100%.

Kita memang tidak mungkin bisa tahu dan melakukan segala-galanya, tapi kita tidak perlu bisa segala-galanya asalkan kita:

  1. Tahu siapa dan di mana kita bisa mencari bantuan.
  2. Tahu apa itu cukup.
  3. Bisa berpuas diri dengan “lumayan.”

Kita tidak bisa melakukan segala-galanya sendiri, maka kita harus bekerjasama. Dengan bekerjasama, kita dapat mencampurkan berbagai perspektif (dan masalah-masalah lainnya seperti ego dan kepentingan, hehehe) untuk mencapai skala dan dampak yang kita inginkan dari usaha kita tersebut.


Jadi ya, kita itu terbatas. Yang tidak terbatas apa dong? Ambisi kita, imajinasi kita, dan alam semesta ini. Paham dong sekarang akar masalahnya? 😉


  1. Perlukah unik? Itu kita bahas kapan-kapan saja ya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *